Bismillahir rahmanir rahiim
Segala puji hanya milik Allah Azza Wajallah, pembimbing kaum intelektual. Tahun baru hijriyah adalah momen dimana kita harus memaknai sesuai dengan khitta perjuangan Rasulullah SAW, pada waktu itu rasulullah berhijrah dari Mekka ke Madina yakni dengan tujuan ingin merubah keadaan bangsa arab waktu itu karena Arab atau penduduk Mekah tidak menerimah Rasulullah sebagai pemimpin negara, sehingga melakukan hijrah untuk mencari persetujuan dari para kafilah untuk mengembangkan dakwa beliau. Mengubah masyarakat dari jahiliyah menujuh islam. Tidak terasa, bulan demi bulan menjelang; tahun demi tahun pun
berlalu. Kaum Muslim kembali memasuki bulan Muharram, menandai datangnya
kembali tahun yang baru; kali ini memasuki Tahun Baru 1433 Hijrah.
Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut dengan penuh
semarak oleh masyarakat, Tahun Baru Hijrah disikapi oleh kaum Muslim
dengan ‘dingin-dingin’ saja.
Memang, Tahun Baru Hijrah tidak perlu disambut dengan kemeriahan
pesta. Namun demikian, sangat penting jika Tahun Baru Hijrah dijadikan
sebagai momentum untuk merenungkan kembali kondisi masyarakat kita saat
ini. Tidak lain karena peristiwa Hijrah Nabi saw. sebetulnya lebih
menggambarkan momentum perubahan masyarakat ketimbang perubahan secara
individual. Peristiwa Hijrah Nabi saw. tidak lain merupakan peristiwa
yang menandai perubahan masyarakat Jahiliah saat itu menjadi masyarakat
Islam. Inilah sebetulnya makna terpenting dari Peristiwa Hijrah Nabi
saw.
Ketidakmampuan kita memahami sekaligus mewujudkan makna terpenting
Hijrah ini dalam realitas kehidupan saat ini hanya akan menjadikan
datangnya Tahun Baru Hijrah tidak memberikan makna apa-apa bagi kita,
selain rutinitas pergantian tahun. Ini tentu tidak kita inginkan.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan
syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun
mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini
diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu
merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara kebenaran dan
kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan
darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra.
ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan
kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah
(Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan
sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw.
telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam;
bahkan dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N.
Bellah—terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad
Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum
Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya,
Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh
orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan
oleh Aisyah ra.:
«كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ
إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ
اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan
Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.)
Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat
beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR al-Bukhari).
Setelah Hijrahlah ketertindasan dan kemalangan umat Islam berakhir.
Setelah Hijrah pula Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar
ke seluruh Jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok dunia.
Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin,
kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab.
Bahkan setelah Khulafaur Rasyidin—yakni pada masa Kekhalifahan
Umayah, Abbasiyah, dan terakhir Utsmaniyah—kekuasaan Islam hampir
meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya berkuasa di Jazirah Arab dan
seluruh Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan Asia Tengah;
bahkan mampu menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam malah pernah
berpusat di Andalusia (Spanyol).
Mewujudkan Kembali Makna Hakiki Hijrah Nabi
Dengan mengacu pada tiga makna Hijrah di atas, dengan mengaitkannya
dengan kondisi masyarakat saat ini, kita melihat:
Pertama: Saat ini umat Islam hidup di dalam
darul kufur, bukan Darul Islam. Keadaan ini menjadikan umat Islam
membentuk masyarakat yang tidak islami alias masyarakat Jahiliah.
Masyarakat Jahiliah tidak lain adalah masyarakat yang didominasi oleh
pemikiran dan perasaan umum masyarakat yang tidak islami serta sistem
yang juga tidak islami.
Dalam konteks zaman Jahiliah modern saat ini, kita melihat, yang
mendominasi masyarakat adalah pemikiran dan perasaan sekular serta
sistem hukum sekular, yang bersumber dari akidah sekularisme; yakni
akidah yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Saat ini
masyarakat didominasi oleh pemikiran demokrasi (yang menempatkan
kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Tuhan), HAM, nasionalisme (paham
kebangsaan), liberalisme (kebebasan), permissivisme (paham serba boleh),
hedonisme (paham yang menjadikan kesenangan duniwai/jasadiah sebagai
orientasi hidup), feminisme (paham mengenai kesetaraan jender,
pria-wanita), kapitalisme, privatisasi, pasar bebas, dll.
Perasaan masyarakat pun didominasi oleh perasaan ridha dan benci atas
dasar pandangan hidup sekular. Mereka meridhai semua yang bersumber
dari akidah sekular dan sebaliknya membenci semua yang bertentangan
dengan pandangan sekularisme; mereka meridhai demokrasi (yang menjunjung
tinggi kedaulatan manusia) dan sebaliknya membenci kedaulatan Tuhan
untuk mengatur manusia; mereka meridhai nasionalisme dan nation state
(negara-bangsa) dan sebaliknya membenci ikatan ukhuwah islamiyah dan
kesatuan kaum Muslim di bawah satu negara (Khilafah Islamiyah); mereka
meridhai liberalisme (kebebasan), permissivisme (paham serba boleh),
hedonisme (paham yang menjadikan kesenangan duniawi/jasadiah sebagai
orientasi hidup), dan sebaliknya membenci keterikatan dengan
syariah/hukum-hukum Allah dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup
mereka; mereka meridhai sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan
manfaat, ekonomi ribawi, privatisasi, dan pasar bebas dan sebaliknya
membenci sistem ekonomi Islam; mereka pun meridhai hukum-hukum kufur
yang bobrok dan sebaliknya membenci hukum-hukum Islam—seperti hukum
cambuk, hukum rajam, atau hukum potong tangan—yang mendatangkan keadilan
dan rahmat bagi manusia.
Lebih dari itu, sistem yang mengatur masyarakat saat ini tidak lain
adalah sistem yang juga bersumber dari akidah sekularisme. Sebaliknya,
sistem Islam—yakni sistem ekonomi, politik, pemerintahan, peradilan,
hukum, sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan negara yang
bersumber dari akidah Islam—mereka campakkan. Itulah realitas masyarakat
Jahiliah pada zaman modern saat ini.
Karena itu, upaya mengubah masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat
Islam, itulah di antara makna hakiki dari Peristiwa Hijrah Nabi saw.
yang harus kita realisasikan kembali saat ini. Caranya tidak lain dengan
menggusur dominasi pemikiran, perasaan, dan sistem sekular di
tengah-tengah masyarakat saat ini; kemudian menggantinya dengan dominasi
pemikiran, perasaan, dan sistem Islam. Tanpa berusaha mengubah ketiga
unsur tersebut di tengah masyarakat Jahiliah saat ini, masyarakat Islam
yang kita cita-citakan tentu tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Kedua: Saat ini tidak ada satu pun negeri
Islam yang layak disebut sebagai Daulah Islamiyah. Padahal kita tahu, di
antara makna dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. adalah pembentukan Daulah
Islamiyah, yang saat itu ditegakkan di Madinah al-Munawwarah.
Daulah Islamiyah yang dibentuk oleh Nabi saw.—yang dalam perjalanan
selanjutnya setelah beliau wafat disebut sebagai Khilafah
Islamiyah—tidak lain adalah sebuah negara yang memberlakukan syariat
Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, upaya
membangun kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah ini
seharusnya menjadi cita-cita bersama umat Islam yang betul-betul ingin
mewujudkan kembali makna Hijrah dalam kehidupan mereka saat ini.
Ketiga: Saat ini keadaan umat Islam di
seluruh Dunia Islam sangat memprihatinkan. Di negeri-negeri di mana kaum
Muslim minoritas, mereka tertindas. Bahkan, kaum Muslim di Filipina
(Moro), Thailand (Pattani), India (Kashmir), dan beberapa wilayah lain
merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan umat Islam saat
ini.
Bahkan di negeri-negeri yang kaya akan kekayaan alam, namun mereka
tak berdaya, dengan mudah negeri mereka diduduki dan dijajah, lihatlah
Afghanistan dan Irak. Mereka ditindas hanya karena satu alasan, yakni
karena mereka Muslim; persis seperti orang-orang kafir Qurays dulu
memperlakukan Nabi saw. dan para Sahabatnya ketika di Makkah. Mereka
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan
sekadar menampilkan identitas mereka sebagai Muslim.
Sebaliknya, kaum Muslim yang tinggal di negeri-negeri di mana mereka
mayoritas pun, hukum-hukum Islam tidak bisa ditegakkan. Kaum Muslim yang
berpegang teguh pada aturan-aturan Allah SWT disisihkan. Mereka yang
konsisten dalam perjuangan menegakkan syariat Islam terus-menerus
difitnah dengan berbagai cap yang menyudutkan seperti ekstremis,
radikal, fundamentalis, bahkan teroris! Akibatnya, aspirasi Islam
dibungkam dan para pejuangnya pun diburu, dijebloskan ke penjara, bahkan
dibunuh.
Kaum Muslim saat ini hidup tertekan dalam “penjara besar”, yakni
negeri mereka sendiri, yang telah dikuasai oleh sistem kufur yang
dikontrol oleh negara-negara kafir Barat imperialis. Posisi umat Islam
yang pernah mengalami masa kejayaannya sejak zaman Nabi saw. sampai
Kekhilafahan Ustmaniyah di Turki kini tinggal kenangan.
Apalagi setelah Peristiwa 11 September 2001, Islam dan kaum Muslim
betul-betul menjadi 'bulan-bulanan' AS dan sekutu-sekutunya. Padahal,
kita tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. adalah
bangkitnya kaum Muslim setelah mereka lama tertindas dan terzalimi
(kurang-lebih 13 tahun) di negeri mereka sendiri, yakni Makkah,
sebagaimana diisyaratkan oleh Aisyah ra. di atas.
Karena itu, agar kaum Muslim dapat benar-benar mewujudkan kembali
makna Hijrah yang sebenarnya, tidak lain, umat ini harus segera
melepaskan diri dari segala bentuk kezaliman sistem kufur dan kekuasaan
negara-negara imperialis Barat kafir, yang nyata-nyata telah menimbulkan
ketertindasan dan kemalangan kaum Muslim dalam berbagai bidang
kehidupan. Semua itu tidak lain hanya mungkin diwujudkan dengan kembali
berhijrah menuju Daulah Islamiyah.
Karena saat ini ditengah Islam tidak lagi diterapkan dalam kehidupan
nyata dalam sebuah negara, maka tugas seluruh kaum Muslimlah untuk
mewujudkannya kembali di tengah-tengah mereka. Caranya tidak lain dengan
mengubah negeri-negeri Muslim saat ini yang berada dalam kungkungan
sistem kufur, yakni sistem Kapitalisme-sekular, sekaligus menghimpunnya
kembali dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islamiyah atau Khilafah
Islamiyah.
Khatimah
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
]كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللهِ[
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia;
melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. (QS
Ali Imran [3]: 110).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Hafidz B.]
web pendukung; eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar